Minggu, 07 Agustus 2016

RI Masih Rentan Intoleransi, Wahid Foundation Sampaikan Enam Rekomendasi



Halaqah Ulama dan Pemuda Islam Indonesia
RI Masih Rentan Intoleransi, Wahid Foundation Sampaikan Enam Rekomendasi



Muhammadiyah Lawan Intoleransi dengan Dakwah dan Kerja Kemanusiaan

Ketua Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah Hajriyanto Y Thohari mengatakan bahwa dakwah yang dilakukan oleh Persyarikatan Muhammadiyah sejak 1912 adalah dakwah berkemajuan yang mencerahkan dan jauh dari tindakan takfiri (gampang mengkafirkan). Sejak semula, Muhammadiyah telah melakukan serangkaian kegiatan dakwah yang menyejukkan untuk membentengi umat Islam Indonesia dari intoleransi dan radikalisme.

Menurut Hajriyanto, upaya dakwah yang berkemajuan tersebut tak lepas dari apa yang dicontohkan KH Ahmad Dahlan selaku pendiri Muhammadiyah dan para tokoh Muhammadiyah di masa setelahnya hingga sekarang. “Seperti yang dilakukan Kiai Dahlan saat mendirikan Muhammadiyah, lewat dakwah dan kerja kemanusiaan,” ujar Hajriyanto dalam sebuah diskusi di Rancamaya, Bogor, Senin (1/8).

Melalui MDMC (Muhammadiyah Disaster Management Centre), MPM (Majelis Pemberdayaan Masyarakat), dan Lazismu (Lembaga Amil Zakat Infaq dan Shadaqah Muhammadiyah) sebagai tiga pilar baru di abad kedua, Muhammadiyah telah memberikan konstribusi dakwah kemamusiaan yang sangat signifikan.

Hajriyanto mengatakan, dakwah sejatinya merupakan proses mengubah pola pikir seseorang untuk menjadi lebih baik. Karena itu, dia pun menyatakan bahwa dalam dakwah tak boleh sekali pun pendakwah mengkafirkan orang yang didakwahinya. Terlebih menganggap bahwa dirinyalah yang paling benar.

“Jadi kalau kita lihat ada kelompok yang mengaku kelompok dakwah tetapi kerjanya malah mengkafirkan orang dan melabeli kelompok lainnya dengan label sesat, itu bukan dakwah namanya,” ucap Hajriyanto.

Menghakimi, melabeli dan memvonis, Menurut Hajriyanto bukanlah tugas pendakwah, dan justru membuat orang yang didakwahi justru menjauh. “Kalau sudah menghakimi berarti dia bukan pendakwah lagi tetapi hakim, bahasa-bahasa kafir, sesat itu seperti seorang hakim yang sedang memberi vonis. Itu menghakimi, sebab esensi dakwah itu memperbaiki,” ujar mantan Wakil Ketua MPR RI itu.

Dia menambahkan, selain dakwah yang halus, kerja kemanusiaan Muhammadiyah juga menjadikan umat Islam terbebas dari intoleransi dan radikalisme. “Karena lewat kerja kemanusiaan itulah kita semua membangun interaksi sosial dan rasa kemanusiaan kita. Dan tentunya itu sangat bertentangan dengan intoleransi dan radikalisme,” ujar Hajriyanto Y Thohari.
------------------------------------------

Wahid Foundation: Mayoritas Muslim Menolak Aksi Radikal

Wahid Foundation mengungkapkan masih adanya potensi kelompok radikal di Indonesia. Sebanyak 11 juta warga Indonesia berpotensi melakukan kekerasan atas dalih jihad agama. Bahkan setengah juta masyarakat Indonesia sudah dan pernah berpartisipasi dalam radikalisasi melalui sweeping dan penyerangan rumah ibadah pemeluk agama lain.

"Berdasarkan hasil survei nasional yang kami lakukan, hasilnya 0,4 persen pernah ikut kegiatan radikal dan ada 7,7 persen responden berpotensi dan siap melakukan radikalisme," kata Direktur The Wahid Foundation Zannuba Arifa Chafsoh, yang akrab dikenal sebagai Yenny Wahid, di Hotel Rancamaya, Kecamatan Bogor Selatan, Kota Bogor, Jawa Barat, Senin, 1 Agustus 2016.

Yenny menjelaskan, hasil survei nasional berjudul "Penguatan Toleransi dan Gerakan Merespons Ekstremisme" ini dilakukan pada April-Mei 2016. Responden merupakan muslim dari 34 provinsi Indonesia berusia lebih dari 17 tahun atau sudah menikah. Mereka umumnya menolak tindakan radikal. Jumlahnya mencapai 72 persen dari responden, "Alhamdulillah, berdasarkan hasil survei kami, mayoritas umat muslim Indonesia atau 72 persen menolak tindakan radikal," kata Yenny. Survei melibatkan 1.520 responden.

Survei Wahid Foundation ini bertujuan untuk memetakan persepsi intoleransi dan kecenderungan radikalisme Indonesia. "Survei ini sekaligus membantu kami dalam mengidentifikasi faktor sosial keagamaan yang mempengaruhi persepsi intoleran dan radikalisme di masyarakat," kata Manajer Riset Program Prioritas Wahid Foundation AA Nugroho.



Wahid Foundation menganggap intoleransi dan radikalisme terutama dipengaruhi oleh pemahaman agama Islam yang bersifat harfiah. "Apalagi jika pemahaman tersebut diberi ruang publik dalam bentuk ceramah atau pengajaran keislaman," kata Nugroho.

Survei ini sekaligus menunjukkan sikap 74,5 persen responden yang beranggapan demokrasi di Indonesia upaya membentuk pemerintahan yang paling baik. Sebanyak 82,3 persen responden menyatakan Pancasila dan Undang-Undang Dasar adalah dasar terbaik untuk kehidupan berbangsa dan bernegara. "Untuk itu, hasil survei ini akan dijadikan rekomendasi bagi pemerintah soal pentingnya penegakan hukum yang tegas terhadap pelaku kekerasan yang mengatasnamakan agama dan penyebar kebencian," ujarnya.

Kepala Staf Kepresidenan Teten Masduki berjanji menyampaikan hasil survei Wahid Foundation kepada lembaga pemerintah yang relevan untuk menjadi rekomendasi dalam mengambil kebijakan penanganan, penanggulangan terorisme, dan deradikalisme di Indonesia. "Ini menjadi rekomendasi pemerintah," ucapnya.
--------------------------------------------

Gelombang Radikalisme Semakin Masif

Ketua Bidang Maudhuiyyah Bahsul Masail Pengurus Bessar Nahdlatul Ulama (PBNU), Abdul Moqsith Ghazali, mengatakan bahwa gelombang intoleransi dan radikalisme di Indonesia kian hari semakin terlihat masif.

Menurut Moqsith, hal itu ditandai dengan maraknya upaya saling mengkafirkan di tubuh umat Islam sendiri.

"Parahnya lagi kelompok yang rajin melabeli kafir dan sesat justru merupakan orang yang baru belajar agama," ucap Moqsith saat diwawancarai dalam sebuah diskusi di Rancamaya, Bogor, Senin (1/8/2016).

"Sedangkan yang dikafirkan malah tokoh-tokoh agama yang telah mempelajari agam sejak lama," kata dia.

Dia mengatakan, hal tersebut terjadi lantaran dangkalnya pemahaman agama mereka yang kerap memberi label kafir kepada kelompok di luar mereka.

Menurut Moqsith, mereka tak memahami sepenuhnya makna kafir yang terdapat dalam kitab suci.

Padahal, menurut Moqsith, melabeli seseorang dengan label kafir bukanlah hal mudah karena dibutuhkan banyak pertimbangan.

"Bagaimana kalau ternyata yang dilabeli kafir itu ternyata bukan kafir? Tentunya itu bisa membuat siuasi sosial tidak kondusif," ujar Moqsith.
----------------------------------------

Selaku Negara Multi Etnis, Indonesia masih Menghadapi Intoleransi

Indonesia selaku negara multi etnis dan agama, masih menghadapi persoalan intoleransi. Kerawanan intoleransi di Indonesia menjadi temuan utama survei nasional bertajuk "Potensi Intoleransi dan Radikalisme Sosial Keagamaan di Kalangan Muslim Indonesia" yang digelar Wahid Foundation bekerja sama dengan Lembaga Survei Indonesia (LSI) di Rancamaya, Bogor, Senin (1/8/2016).

Survei ini melibatkan 1.520 responden yang tersebar di 34 provinsi. Responden adalah umat Islam berusia di atas 17 tahun atau sudah menikah. Survei yang digelar dari 30 Maret sampai 9 April 2006 itu menggunakan metode random sampling dengan margin error sebesar 2,6 persen dan tingkat keyakinan 95 persen.

Paparan hasil survei tersebut bertujuan memberikan masukan kepada Pemerintah dalam menangani persoalan intoleransi dan radikalisme.

(Baca: Jokowi: Pemerintah Akan Tindak Tegas Pelaku Main Hakim Sendiri di Tanjungbalai)

Acara pemaparan dihadiri Direktur Wahid Foundation Yenny Wahid, Kepala Staf Presiden RI Teten Masduki, Mantan Wakil Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) As'as Sa'id Ali, dan Ketua Pengurus Pusat (PP) Muhammadiyah Hajriyanto Thohari.

Dalam sambutannya Yenny menyampaikan umat Islam di Indonesia merupakan wajah Islam moderat di dunia. Sebabnya umat Islam Indonesia dikenal mampu hidup berdampingan dengan umat beragama lainnya.

"Karena itu jika ada potensi penguatan intoleransi di Indonesia, itu menjadi peringatan besar bagi kita semua untuk berhati-hati," ujar Yenny dalam sambutannya.

Putri sulung Abdurrahman Wahid (Gus Dur) itu memaparkan survei tersebut sengaja memilih populasi khusus umat Islam karena isu toleransi dan intoleransi memang tengah menjadi persoalan tersendiri di tubuh umat Islam, khususnya di Indonesia.

Yenny mengatakan toleransi dalam survei kali ini dimaknai dengan tidak menghalangi kelompok lain, baik sesama muslim maupun nonmuslim, yakni dalam pemenuhan hak sosial keagamaannya.

Hasil Survei

Hasilnya, survei tersebut menemukan sejumlah data yang cukup mengkhawatirkan. Dari total 1.520 responden sebanyak 59,9 persen memiliki kelompok yang dibenci.

Kelompok yang dibenci meliputi mereka yang berlatarbelakang agama nonmuslim, kelompok tionghoa, komunis, dan selainnya.

Dari jumlah 59,9 persen itu, sebanyak 92,2 persen tak setuju bila anggota kelompok yang mereka benci menjadi pejabat pemerintah di Indonesia.

(Baca: 7 Pelaku Penjarahan dalam Kerusuhan di Tanjungbalai Ditangkap)

Sebanyak 82,4 persennya bahkan tak rela anggota kelompok yang dibenci itu menjadi tetangga mereka.

Dari sisi radikalisme sebanyak 72 persen umat Islam Indonesia menolak untuk berbuat radikal seperti melakukan penyerangan terhadap rumah ibadah pemeluk agama lain atau melakukan sweeping tempat yang dianggap bertentangan dengan syariat Islam.
--------------------------------------------

RI Masih Rentan Intoleransi, Wahid Foundation Sampaikan Enam Rekomendasi

Survei Wahid Foundation menunjukan Indonesia masih rawan perialku intoleran dan radikal.

Dari paparan survei nasional, Manajer Riset Wahid Foundation Aryo Ardi Nugroho memberikan enam rekomendasi untuk menanggulangi kedua hal tersebut.

Pertama, Nugroho menyatakan Pemerintah melalui Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan serta Kementerian Agama perlu mengembangkan modul pembelajaran penguatan toleransi dan perdamaian.

Kedua, Nugroho menyampaikan DPR juga diharuskan merevisi undang-undang (UU) yang bertentangan dengan semangat toleransi dan perdamaian.

"Peran Pemerintah dan parlemen di tingkat pusat sangat sentral karena merekalah pembuat peraturan yang menjadi acuan bagi kehidupan masyarakat," kata Nugroho.

Berikutnya Nugroho menuturkan, pemerintah daerah (Pemda) merupakan pihak yang kerap kongkalikong dengan kelompok radikal.

Sebab kelompok radikal dengan jumlah massa yang banyak kerap menjanjikan dukungan saat pemilihan kepala daerah.Karenanya, Nugroho menyarankan Pemda tak memberi ruang aktivitas bagi kelompok radikal.

Keempat, Nugroho menilai kepolisian pun perlu menindak tegas tindakan radikal di masyarakat. Jika tidak, menandakan kepolisian bersikap permisif kepada kelompok radikal.

(Baca: Survei Wahid Foundation: Indonesia Masih Rawan Intoleransi dan Radikalisme)

"Kalau kepolisian tidak tegas maka kelompok radikal itu akan semakin berani melakukan tindakan radikal seperti merusak rumah ibadah umat agama lain dan selainnya," papar Nugroho.

Kelima Nugroho menyarankan kelompok masyarakat sipil, khususnya yang berlatarbelakang Islam seperti NU dan Muhammadiyah memperkuat pengaruhnya melalui penguatan pemahaman anggotanya terhadap nilai toleransi dan perdamaian.

"Terakhir kembali pada penguatan warga negaranya sendiri, yakni kita semua pun diharuskan menjunjung tinggi nilai toleransi dan bersikap inklusif dimana pun," ucap Nugroho.

Hasil Survei

Survei Wahid Foundation menemukan sejumlah data yang dinilai cukup mengkhawatirkan. Dari total 1.520 responden, sebanyak 59,9 persen memiliki kelompok yang dibenci.

Kelompok yang dibenci meliputi mereka yang berlatarbelakang agama nonmuslim, kelompok tionghoa, komunis, dan lainnya.

Dari jumlah 59,9 persen itu, sebanyak 92,2 persen tak setuju bila anggota kelompok yang mereka benci menjadi pejabat pemerintah di Indonesia.

Sebanyak 82,4 persennya bahkan tak rela anggota kelompok yang dibenci itu menjadi tetangga mereka.

Dari sisi radikalisme sebanyak 72 persen umat Islam Indonesia menolak untuk berbuat radikal seperti melakukan penyerangan terhadap rumah ibadah pemeluk agama lain atau melakukan sweeping tempat yang dianggap bertentangan dengan syariat Islam.

Dan hanya sebanyak 7,7 persen yang bersedia melakukan tindakan radikal bila ada kesempatan dan sebanyak 0,4 persen justru pernah melakukan tindakan radikal.

Kendati demikian, kata Direktur Wahid Foundation Yenny Wahid Yenny, ada temuan positif dalam survei kali ini. Sebanyak 67,3 persen mendukung pemberlakuan sistem demokrasi di Indonesia dan 82,3 persen menyatakan dukungannya kepada Pancasila dan UUD 1945.

Dia mengatakan penyebab terjadinya intoleransi dan radikalisme di tubuh umat Islam Indonesia selain ideologi ialah alienasi dalam sektor sosial dan ekonomi.

Survei itu melibatkan 1.520 responden yang tersebar di 34 provinsi. Responden adalah umat Islam berusia di atas 17 tahun atau sudah menikah. Survei yang digelar dari 30 Maret sampai 9 April 2006 itu menggunakan metode random sampling dengan margin error sebesar 2,6 persen dan tingkat keyakinan 95 persen.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar