Minggu, 21 Agustus 2016

AMNU Sumbar Ajak Kebersamaan, Jangan Perbesar Perbedaan

-Di Padang Pariaman
Warga Syathariyah Kamis Melihat Bulan

Pariaman--Agaknya tanggal satu Ramadhan tahun ini sedikit jauh tertinggalnya jamaah Syathariyah untuk memulai puasa, ketimbang keputusan Menteri Agama RI dan hasil tarjih Muhammadiyah. Betapa tidak, Muhammadiyah sejak jauh hari telah menetapkan satu Ramadhan pada Rabu 11 Agustus. Artinya, Selasa malam warga Muhammadiyah telah memulai aktivitas Ramadhan, yakni shalat Tarwih. Sementara, warga Syathariyah yang merupakan komunitas terbesar di Padang Pariaman baru Kamis, 12 Agustus melihat hilal (bulan). Kalau bulan kelihatan, maka mereka memulai puasa pada Jumat-nya. Seandainya bulan tidak kelihatan, otomatis satu Ramadhannya jatuh pada Sabtu-nya. Sebab, mereka harus menyempurnakan atau menggenapkan bilangan Sya'ban sebanyak 30 hari.
    Memang, tradisi melihat bulan telah berjalan cukup lama di daerah itu. Bahkan, Pemkab Padang Pariaman dalam konsepnya membangun masjid besar di komplek makam Syekh Burhanuddin, Ulakan, Kecamatan Ulakan Tapakis juga akan dibangun sebuah menara tinggi, yang nantinya berfungsi untuk melihat bulan. Namun, hingga kini menara tersebut belum terwujud karena sesuatu lain hal. Masyarakat Syathariyah pun tidak banyak cerita. Yang penting baginya, setiap kali mengawali Ramadhan dan mengakhiri Ramadhan mesti harus dengan melihat bulan dengan mata telanjang. Itu pengajian yang didapatkannya dari berbagai kajian kitab fiqh yang mereka terima secara turun-temurun.
    Ketua Majelis Zikir Istiqamah Syathariyah (Mazis) Kabupaten Padang Pariaman, Syafri Tuanku Imam Sutan Sari Alam menyebutkan, bahwa tradisi melihat bulan merupakan tradisi keagamaan yang mesti ditegakkan dan dilestarikan dengan segala dinamikanya. "Persoaan kelompok lain telah berpuasa, itu merupakan haknya yang tidak boleh disalahkan. Kita dalam beragama saling punya dalil dan alasan yang dianggap kuat. Yang penting bagaimana dalam masalah tersebut, mencari titik persamaannya, dan jangan perbesar perbedaannya," katanya Jumat kemarin di Pariaman.
    Menurutnya, banyak tempat yang dijadikan oleh warga Syathariyah dalam melihat bulan tersebut. Tetapi yang paling banyak itu, memang ditepi pantai Ulakan, komplek makamnya Syekh Burhanuddin, sebagai seorang ulama besar pertama mengembangkan agama Islam, sekaligus guru besar Syathariyah. "Untuk itu pulalah, setiap mengawali Ramadhan dan mengakhirinya, para ulama yang berhubungan langsung ke Ulakan ini selalu datang. Disamping melihat bulan, para ulama dan jamaahnya itu juga sekalian menziarahi makam guru dari gurunya, yakni Syekh Burhanuddin dimaksud," ungkap Syafri.
    Biasanya, lanjut Syafri, setelah bulan kelihatan para ulama, tokoh adat yang ikut melihat bulan tersebut langsung pulang kekampungnya. Maka media untuk menyampaikan kepada masyarakat banyak, bahwasannya bulan telah kelihatan dibunyikanlah beduk alias tabuah di masjid nagari, setelah sidang para ulama dengan niniak mamak dimaksud. "Setelah beduk masjid nagari berbunyi, maka beduk lain yang ada disetiap surau milik korong langsung membunyikan beduk pula, guna memberitahu pada masyarakat yang ada di korong bersangkutan. Meskipun dizaman kini media komunikasi, seperti HP telah memasyarakat, namun media beduk tetap menjadi alat utama dalam menyebarluaskan berita tentang bulan kelihatan tersebut," kata Syafri.
    Disamping di Ulakan, warga Syathariyah juga banyak yang melihat bulan ke Koto Tuo, Kabupaten Agam, tempat dimana pusatnya Syathariyah Sumatra Barat. "Banyak juga para ulama dari Padang Pariaman ini yang hadir dan datang ke suraunya Tuanku Mudo Ismet tersebut. Namun, semua informasi tentang bulan tampak atau tidak tampak harus satu persepsi. Tidak ada yang berbeda diantara satu tempat dengan tempat lainnya, tentang hasil tanggal satu Ramadhan dimaksud. Artinya, ketika ulama yang melihat bulan di Koto Tuo saat melihat bulan, tidak menyaksikan bulan saat itu, mereka harus menunggu dan mencari informasi dari Ulakan atau tempat lainnya, tentang kebenaran bulan yang menentukan untuk memulai puasa Ramadhan tersebut," ujarnya.
    Pelepasan Meriam
    Sementara untuk wilayah Kecamatan VII Koto lama, yang meliputi, Kecamatan Patamuan, Padang Sago dan Kecamatan VII Koto Sungai Sariak, sejak berpuluh-puluh tahun yang silam terkenal dengan malapeh badia mariam, ketika memulai dan mengakhiri puasa Ramadhan. Mariam atau merian adalah senjata perang yang digunakan oleh penjajah dulunya, dalam memerangi urang awah, ketika negara ini masih dijajah kaum penjajah. Meriam peninggalan Belanda itu hingga kini masih utuh disimpan oleh masyarakat di Korong Ambung Kapur, Kenagarian Sungai Sariak.
    Orang yang memegang meriam itu dinamakan dengan Majolelo. Majolelo tersebut telah berganti dengan banyak keturunan. Majelelo bersama personilnya melakukan pelepasan meriam, setelah adanya kabar atau perintah dari Tuanku Kadhi VII Koto, yang berkedudukan di Ampalu. Sebab, fungsi Majolelo di Ambung Kapur adalah perpanjangan tangan dari Tuanku Kadhi tersebut.
    Dulu, semasa zaman belum secanggih saat ini bunyi meriam tersebut sampai ke Malalak, Kabupaten Agam. Setelah meriam itu berbunyi, maka segeralah masyarakat Syathariyah yang ada di tiga kecamatan dimaksud memulai aktivitas bulan Ramadhan dengan shalat Tarwih di seluruh surau kaum yang terdapat di seluruh kampung yang ada. (dam)
-------------------------------------------------------------------------------------

-Dalam Memulai Puasa Ramadhan
AMNU Sumbar Ajak Kebersamaan, Jangan Perbesar Perbedaan

Pariaman--Angkatan Muda Nahdlatul Ulama (AMNU) Sumatra Barat mengajak semua elemen masyarakat Islam yang akan melakukan ibadah puasa tahun ini, untuk selalu mencari titik persamaannya. Sebab, telah menjadi tradisi atau lazim dikalangan masyarakat Minangkabau setiap kali bulan Ramadhan, selalu untuk menentukan tanggal satu Ramadhan terjadi silang pendapat, diantara kelompok yang satu dengan kelompok lainnya.
    Deklator AMNU Sumbar, Febby Sutan Mudo menyampaikan hal itu ketika melakukan kegiatan renungan kaum muda NU Sumbar menjelang Ramadhan tahun ini, Jumat kemarin. Menurutnya, bulan Ramadhan merupakan bulan, dimana para umat Islam diberi kesempatan oleh Yang Maha Kuasa, untuk melakukan pelatihan diri, guna meningkatkan keimanan dan ketaqwaan kepada Tuhan. "Untuk itu, sudah sewajarnya para generasi muda memafaatkan momen bulan ini untuk menata kembali diri dan lingkungannya, memakmurkan masjid dan surau yang ada dilingkungannya sendiri," katanya.
    "AMNU sangat mendukung seluruh pelaksanaan pesantren Ramadhan yang diadakan oleh berbagai kelompok masyarakat dan pemerintah daerah itu sendiri. Sebab, nuansa Ramadhan memang harus dimaknai dengan banyak melakukan rangkaian ibadah itu sendiri. AMNU siap untuk melakukan pengamanan jalannya pelaksanaan pesantren Ramadhan dimaksud, sekaligus ikut berperan dalam mensunyukseskannya," ujar Febby.
    Menurut Febby, AMNU bersama komponen pemuda NU terus berbuat dan berupaya, bagaiamana tingkat kenakalan remaja dan pemuda bisa berkurang. Terutama pada bulan yang penuh dengan berkah ini. Semua kegiatan yang menjadi kebiasaan para pemuda, untuk bisa ditangguhkan, demi kelangsungan dan kenyamanan masyarakat selama Ramadhan ini. "Hal itu sangat penting, mengingat para pemuda merupakan harapan dari segala-galanya, tak terkecuali terhadap kejayaan dan kebesaran agama Islam itu sendiri," kata Konsultan Manajemen Provinsi (KMP) Kementerian Pembangunan Daerah Tertinggal (KPDT) RI Sumbar ini. (dam)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar