Senin, 25 Juli 2016

Ketika Tuanku Masuk Partai Politik

Ketika Tuanku Masuk Partai Politik   

    Tarekat Syattariyah yang merupakan salah satu jenis tarekat terpenting dalam proses Islamisasi di dunia, sejauh ini diketahui bahwa persebarannya berpusat pada satu tokoh utama; Abdur Rauf al-Sinkli di Aceh. Melalui sejumlah muridnya, ajaran Tarekat Syattariyah kemudian tersebar ke berbagai wilayah. Diantara murid-murid al-Sinkli adalah Syeikh Burhanudin yang bermakam di Ulakan, Kabupaten Padang Pariaman, Sumatera Barat dan Syeikh Abdul Muhyi dari Pamijahan, Tasikmalaya, Jawa Barat. Keduanya berhasil mengembangkan Tarekat Syattariyah di wilayahnya masing-masing.
    Bersama tarekat lainnya, Syattariyah yang dikembangkan al-Sinkli dan murid-muridnya menjadi salah satu tarekat yang mengembangkan ajaran tasawuf dengan kecenderungan neosufisme. Diantara karakteristik yang menonjol dari ajaran neosufisme adalah adanya ajaran untuk saling pendekatan antara ajaran syariah dengan tawasuf. Dalam konteks tradisi intelektual Islam, ajaran tawasuf dengan corak ini telah menjadi wacana dominan sejak awal abad ke-17, sehingga mempengaruhi hampir semua karya-karya ke-Islamam yang muncul, khusunya bidang tasawuf.
    Di nusantara, Syeh Abdurrauf menjadi guru utama tarekat ini, dan ia masuk dalam silsilah tarekat yang dibacakan penganut Syattariyah sampai saat ini. Syekh Abdurrauf memiliki pengaruh besar dalam penyebaran Islam di nurantara. Ia memiliki murid dari berbagai daerah. Di Sumatera Barat ajaran tasauf as-Sinkili dibawa oleh muridnya Syekh Burhanuddin Ulakan. Berkat muridnya, Tarekat Syattariyah menjadi berpengaruh di sekitar daerah Padang Pariaman. Sementara di Sulawesi ajaran tasawuf as-Sinkili dibawa oleh Syekh Yusuf Tajul Khalwati Makssar. Di kepulauan Jawa, Syattariyah disebarkan oleh muridnya Syekh Abdul Muhyi. Ia belajar kepada as-Sinkli pada saat singgah di Aceh dalam pejalanannya ke Makkah untuk menunaikan ibadah haji.
    Kebenaran aliran Tarekat Syattariyah jika ditinjau dari segi syariat, sering menarik perhatian dari beberapa pengamat. Satu pihak menganggap tarekat itu sebagai ajaran yang sesat, di lain pihak menganggapnya sebagai suatu aliran yang sesuai dengan syariat Islam. Ulama yang membenarkan ajaran tarekat tersebut diperkirakan karena dua hal: pertama, mereka berasal dari kelompok aliran itu sehingga penilaiannya bersifat subjektif. Kedua, ulama yang memberikan pandangannya itu dengan membedakan antara ajaran tarekat dengan penganutnya, dengan asumsi bahwa ajarannya tetap dipandang sebagai ajaran yang benar tetapi penganutnya yang diperkirakan terpengaruh oleh unsur kepercayaan lain.
    Secara kelembagaan, tarekat pada dasarnya tidak dikenal dalam Islam hingga abad ke-8 H atau abad ke-14 M. Artinya, tarekat sebagai organisasi dalam dunia tasawuf, dapat dianggap sebagai hal yang baru yang tidak pernah dijumpai dalam tradisi Islam periode awal, termasuk pada masa nabi. Tidak heran jika hampir semua jenis tarekat yang dikenal saat ini selalu dinisbahkan kepada nama-nama para wali atau ulama belakangan yang hidup berabad-abad jauh setelah masa nabi.
    Di Padang Pariaman sendiri, tempat pengembangan awal Tarekat Syattariyah yang dilakukan Syekh Burhanuddin merupakan daerah mayoritas penganut ajaran itu, meskipun sebagian kecil ada juga penganut tarekat lainnya. Dan tak heran pula, hampir semua tuanku atau ulama kampung yang lulusan pesantren ala surau terkenal sebagai generasi pelanjut ajaran ini. Tuanku yang diposisikan sebagai guru spritual oleh masyarakat, adalah orang yang di dahulukan selangkah dan di tinggikan seranting dalam berbagai hal di tengah masyarakat, terutama saat berhadapan dengan persoalan keagamaan.
    Dengan ini, ketika seorang tuanku terjun ke dunia politik praktis dengan berkecimpung dalam partai politik peserta pemilu, dan sampai pula jadi anggota dewan terhormat, akan jadi fenomena tersendiri. Namun, apabila kita melihat garisnya ke belakang dari dulu, betapa banyak orang-orang surau yang ikut berpolitik. Bahkan, berdirinya Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) banyak kontribusi ulama melalui jalur politik.
    Pesantren atau surau tempat tuanku menimba ilmu adalah lembaga yang mengajarkan santrinya untuk serba bisa. Maka dari itulah, para lulusan surau tidak melulu mengajar. Mereka berdakwah melalui banyak media yang bisa mereka manfaatkan, dikarenakan itu tadi; orang surau menjadi serba bisa. Orang surau memandang, dakwah adalah menyampaikan ilmu pengetahuan kepada banyak orang dengan banyak cara pula. Masuk partai politik dan sampai jadi anggota dewan, merupakan bagian dari dakwah. Mereka harus bisa memberikan yang terbaik lewat lembaga itu, agar betul-betul berpihak pada masyarakat.
    Kajian yang dilakukan Sadri Chaniago sungguh luar biasa dalam menyikapi para pemangku kepentingan dalam Tarekat Syattariyah itu sendiri. Kajian ini amat penting untuk terus dikembangkan. Sebab, sebagian besar masyarakat penganut Syattariyah itu sendiri masih menganggap tabu bila melihat tuanku atau gurunya masuk dalam partai politik. Menurut mereka, politik bukan dunianya tuanku. Tentunya hal demikian sebuah pandangan yang keliru. Justru sebagian para tuanku harus masuk dalam partai politik, agar bisa melakukan perjuangan dakwah lewat dunia pemerintahan. (Ahmad Damanhuri Tuanku Mudo - Wartawan Harian Singgalang)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar