Sabtu, 24 September 2016

Suluak Ala Jamaah Naqsabandi Sunni, Pimpinan Buya Ibnu Abbas

Suluak Ala Jamaah Naqsabandi Sunni, Pimpinan Buya Ibnu Abbas

Pariaman---Dalam tasawuf, riadah berarti latihan kerohanian dengan menjalankan ibadah dan menundukkan keinginan nafsu syahwat. Menurut kalangan penempuh jalan tasawuf, riadah dalam arti tersebut pernah dilakukan Nabi Muhammad Saw, ketika berkhalwat di Gua Hira' dengan melatih diri, mengasah jiwa, berzikir, merenung, memperhatikan kejadian alam dan susunannya, serta memperhatikan segala keadaan masyarakat yang penuh kejahilan dan kerusakan dalam berbagai aspek kehidupan. Keadaan masyarakat tersebut menimbulkan keprihatinan Nabi yang sangat mendalam. Kemudian datanglah wahyu yang dibawa oleh Malaikat Jibri, setelah menjadi Rasul, beliau tetap menjalankan riadah, melawan hawa nafsu (mujahadah) dan tekun beribadah seperti melakukan Shalat Tahajjud sampai larut malam, sehingga kakinya membengkak. Ketika ditanya Aisyah, istrinya, mengapa beliau beribadah sekuat itu, Nabi menjawab, bahwa ia ingin mejadi hamba Allah Swt yang bersyukur, bukan karena ingin diampuni dosa-dosanya (HR Ahmad bin Hanbal).
    Riadah dalam tasawuf ada dua, yaitu riadah badan dan riadah rohani. Riadah badan dilakukan oleh seorang sufi atau pengamal tharekat dengan jalan mengurangi makan, mengurangi minum, mengurangi tidur dan mengurangi perkataan. Riadah rohani biasanya melalui ibadah, seperti senantiasa dalam keadaan berwudluk, rajin melakukan shalat (baik yang fardu maupun sunat), dan mengamalkan zikir dengan aneka ragam wiridnya.
    Adapun riadah yang dilakukan penganut Tharekat Naqsabandi berbeda-beda, sesuai dengan tharekat yang dianutnya. Riadah dilakukan untuk dekat dan berma'rifat kepada Allah Swt. Hal ini dilakukan secara bertahap, sesuai dengan kekuatan bathin masing-masing. Seseorang yang akan melakukan riadah diharuskan untuk mempersiapkan kesucian lahiriah melalui iman, Islam dan ihsan. Ia harus memahami dengan baik apa yang dimaksud dengan rukun iman, pengetahuan mengenai sifat Tuhan yang wajib dan jaiz, yang mustahil dan yang mungkin, serta pengetahuan tentang nubuat, dan hal-hal yang berhubungan dengan nabi, seperti sifatnya, mukjizat dan syafaatnya. Selain itu, pengetahuan mengenai malaikat, kitab suci, hari kiamat, dan qada serta qadar, juga menjadi penunjang. Ia juga harus mengamalkan ajaran Islam yang wajib, seperti shalat lima waktu, puasa Ramadhan, dan berupaya memahami hikmah dari ibadah itu sendiri. Ia melakukan segala sesuatu dengan ikhlas kepada Allah Swt.
    Sedangkan khalwat artinya menyendiri, mengasingkan diri dan memencilkan diri. Menyendiri pada suatu tempat tertentu, jauh dari keramaian dan orang banyak selama beberapa hari untuk lebih mendekatkan diri kepada Allah Swt, melalui shalat dan amaliah lainnya. Kalangan sufi Al-Ghazali berpendapat, bahwa berkhalwat adalah bagian dari upaya meneladani Nabi Muhammad Saw, yang pernah melakukan khalwat di Gua Hira', sebelum menerima wahyu pertama, dan di Jabal Saur sesudah menjadi Rasul. Khalwat Rasulullah di Gua Hira' adalah tafakur, tentang segala makhluk ciptaan-Ny. Sedangkan khalwat Nabi setelah menjadi Rasul, adalah memohon kepada Tuhan, agar wahyu kembali turun setelah terputus beberapa waktu, karena Nabi SAW berjanji menjawab pertanyaan seorang musyrik mengenai ashabul kahfi, tanpa mengatakan insya Allah.
    Disebutkan, Imam Ghazali pernah melakukan khalwat tiga kali, masing-masing selama 40 hari. Dalam 'Awarif al-Ma'arif (ahli ilmu pengetahuan) kaum sufi, ia menasehati untuk ber-khalwat selama 40 hari setiap tahun, dan menjalankannya dengan shalat dan puasa. Khalwat yang dinamai al-Arba'iniyah (sifat 40) ini mempunyai tujuan etis (khuluqiyyah), yaitu penyucian jiwa, dan penyingkiran tabir (hijab) jasmani. Khalwat ini bukan untuk mencapai mukasyafah atau untuk meminta keluar-biasaan dan keajaiban yang kadang-kadang muncul.
    Buya H Ibnu Abbas melakukan khalwat dengan jamaahnya di Padang, Surau Nurul Yaqien, Sungai Balang, Bandar Buat dan Surau Buya Lubuak, di Baruang-Baruang Balantai, Tarusan, Kabupaten Pesisir Selatan setiap tahunnya, dengan pembagian 40 hari tersebut. Yakni 30 hari dibulan Ramadhan, dan 10 hari dibulan Zulhijah.
    Seorang murid tharekat yang berkhalwat, katanya, hendaklah melepaskan diri untuk sementara waktu dari alam sekitar. Seluruh harta miliknya dan keluarganya, serta tidak meninggalkan khalwatnya kecuali untuk shalat berjamaah atau Shalat Jumat. Dalam keadaan seperti itu, ia secara terus menerus mengingat Allah dan tidak memperhatikan apa yang didengar dan apa yang dilihatnya, agar dirinya tidak terganggu. Selama itu pula ia harus tetap bersuci dengan wudlu', tidak tidur kecuali amat letih, dan tidak putus-putusnya berzikir.
    Menurut Buya Ibnu Abbas, amaliah yang dilakukan seseorang selama berkhalwat dan tata caranya tergantung pada aliran tharekat dan ajarannya. Tharekat Naqsyabandiah menetapkan tata cara khalwat itu sebagai berikut. Pertama, khalwat dilakukan dengan i'tikaf dalam masjid/surau. Kedua, orang yang melakukannya harus keadaan berwudluk. Setiap batal wudluknya, ia harus berwudluk kembali, dan kemudian Shalat Tobat dua rakaat karena telah meninggalkan khalwat, yang dianggap telah melakukan dosa. Ketiga, mengerjakan zikir.
    Dalam Tharekat Naqsyabandiah, zikir itu terbagi atas zikir darajat dan zikir hasanat. Keempat, dalam berkhalwat hendaklah memisahkan diri dari orang banyak. Kelima, Shalat Berjamaah. Keenam, mengurangi makan, minum, tidur dan berkata-kata. Terutama perkataan lidah dan hati, selain berdzikir.
    Ketujuh, memakai pakaian yang bersih, dan kepala dalam keadaan tertutup dengan kain putih. Sebab, warna putih melambangkan kesucian dan akan terlihat jelas, bila terkena najis. Kedelapan, meninggalkan pekerjaan jual beli dan segala pekerjaan duniawi lainnya, yang dapat membuat hati lalai dari mengingat Allah Swt. Kesembilan, tidak makan daging karena daging dapat membuat sifat manusia menjadi buas. Kesepuluh, memakai kelambu agar selain mencegah nyamuk, lalat dan lainnya yang mengganggu pikiran dalam berzikir, juga dapat mengingatkan orang yang berkhalwat seolah-olah ia berada dalam lubang kubur atau liang lahat. Kesebelas, muka dan dadanya selalu dihadapkan ke arah kiblat. Kedua belas, berkhalwat melatih rasa sabar dan kanaah. (Damanhuri)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar