Senin, 14 Mei 2018

Tradisi Mengaji Pusara Jelang Puasa Kearifan Lokal Padang Pariaman Sejak Zaman Saisuak

Padang Pariaman--Sore menjelang senja itu sejumlah kaum perempuan Nagari Toboh Gadang bergegas berjalan sambil menjinjing rantang. Ada pula yang menjujung jamba untuk dimakan nantinya di pandam pekuburan.
"Di Toboh Gadang ini ada dua kali tradisi mengaji pusara atau pandam pekuburan dalam setahun. Yakni, jelang puasa dan habis lebaran," kata Syafri Tuanku Imam Sutan Sari Alam.
Dan tradisi demikian juga berlaku hampir sama dengan di nagari lainnya di Kabupaten Padang Pariaman. Menjelang makan berjamba bersama, urang siak yang terdiri dari labai, tuanku, bilal membaca kaji bersama.
"Warih bajawek, pusako batarimo. Artinya, tradisi ini sudah ada sejak zaman saisuak dan mesti dilanjutkan terus," ungkapnya.
Lain pula halnya di Lubuk Alung. Di kampung yang terkenal dengan panasnya itu, mengaji pusara hanya sekali dalam setahun, yakni jelang puasa masuk. "Tradisi ini sesuatu yang tak boleh ditinggalkan," kata Dr. Irwandi Sulin Datuak Gadang.
"Mengaji pusara merupakan kearifan lokal (local wisdom), dalam mengawal adat dan syara di tengah masyarakat. Dan itu wajar, sebagai upaya mendoakan para leluhur kita yang telah banyak meninggalkan jasa dulunya semasa dia hidup," ujar mantan Rektor Unitas Padang ini.
Untuk Lubuk Alung, kata Irwandi Sulin, setiap niniak mamak itu punya pandam pekuburan. Dan di pandam pekuburan itulah tradisi mengaji pusara ini dilakukan, sambil sekalian mempererat tali silaturrahim, dan saling maaf memaafkan sekaitan masuknya bulan suci Ramadhan. Di tempat itu pula bertemunya kaum adat (niniak mamak) dengan ulama (urang siak).
Dan saat mengaji pusara ini pulalah bertemunya antara bako dan anak pisang. "Artinya, orang dari suku lain hadir pula mengingat di situlah orangtuanya dimakamkan dulu. Mereka terasa bernostalgia dengan keluarga ayahnya, yang hanya terjadi pada saat mereka masih kecil dulunya," kata Irwandi.
Di samping itu, ujar dia lagi, mengaji pusara menimbulkan rasa kebersamaan dan kekompakan dalam satu kaum terkait. "Dengan acara ini pula kita tahu perkembangan sanak kemenakan yang dalam keseharian kurang diketahui oleh mamak, karena kesibukan masing-masing," sebutnya.
Hebatnya, ulas Irwandi Sulin, ketika masyarakat diberitahu tradisi ini akan diadakan, semuanya ikut dan tak ingin ketinggalan. Tak ada rasa tak punya, manakala acara ini diadakan. Semuanya, yang perempuan atau kaum ibu-ibu serentak membawa jamba dan rantang yang berisi nasi lengkap dengan sambalnya untuk dimakan.
"Nah, kita yang laki-laki tentu membawa yang ringan saja, semisal uang ala kadarnya untuk sedekah urang siak yang menyampaikan kaji secara bersama," ungkapnya.
Irwandi Sulin melihat, tanda adat dan tradisi ini kuat di tengah masyarakat, seluruh pandam pekuburan kaum yang ada di Lubuk Alung ini punya tempat untuk acara mengaji tersebut. Meskipun tak begitu rancak, yang jelas ada pondok beratap sebagai tempat mengaji dan makan.
"Meskipun musim hujan dan panas sekalipun, sama sekali tak menghalangi untuk mengundur acara ini. Kalau jadwalnya sudah ditetapkan, ya langsung saja dilakukan," jelasnya. (501)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar