Rabu, 01 Februari 2017

Tak Punya Rumah Dua Anak Asnimar Mengalami Gizi Buruk

Tak Punya Rumah Dua Anak Asnimar Mengalami Gizi Buruk

VII Koto--Kalau adalah program bedah rumah untuk Asnimar dari pemerintah, mungkin tidak berlaku. Apa yang mau dibedah. Rumah dia itu benar yang tidak ada. Ibu muda kelahiran 1981 ini terasa sudah lengkap penderitaannya. Punya anak tujuh, ditinggal suaminya yang sudah meninggal dunia sejak dua tahun yang lalu.
    Kini, Asnimar yang sehari-hari bekerja sebagai pencari barang bekas itu tinggal di pondok darurat yang dindingnya dia beri plastik jemuran padi bekas. Alasnya jangan tanya. Hanya papan buruk seadanya. Tanah lokasi yang dia huni sekarang memang milik nenek moyangnya di Duku Banyak, Nagari Balah Air, Kecamatan VII Koto Sungai Sariak, Kabupaten Padang Pariaman.
    "Sudah empat bulan ini kami tinggal beranak di sini. Ya, bisa dibayangkan, kalau hujan turun. Dinginnya minta ampun. Apalagi, hujan itu turunnya disertai angin kencang pula," kata dia, saat di datangi sejumlah wartawan, Rabu kemarin.
    Dua dari tujuh orang putra-putrinya itu mengalami gizi buruk pula, dan pernah dirawat di rumah sakit umum. Siang, menjelang sore Rabu kemarin itu, Asnimar tengah menanak nasi. Tapi tidak dalam periuk dia menanak. Hanya dalam kuali kecil. Terkesan, nasi yang dia tanak itu adalah nasi bekas semalam yang dihangatkan kembali untuk dimakan oleh anak-anaknya.
    Yang namanya anak banyak, ya tentu banyak pula ulahnya. Anak yang paling besar baru berusia delapan tahun. Tiga orang anak yang telah sekolah, itupun di SD Luar Biasa di Balai Baru, Ibu Nagari Balah Air. Dia sendiri yang mengantarkannya anak itu sekolah dengan mengayuh becak yang juga digunakannya untuk mencari barang bekas.
    Ada rumah milik orangtuanya, tak jauh dari tanah yang dia diaminya itu, tapi Asnimar merasa tak betah. Dia mengaku banyak pula beradik kakak yang telah berkembang biak pula. "Kalau tinggal juga di rumah amak, harus bersempit-sempit. Saudara awak itu banyak pula anaknya," kata dia.
    "Jadi, awak lebih memilih tinggal di pondok yang awak buat sendiri ini," ujarnya. Kalau Asnimar mulai bekerja beraktivitas berkeliling kampung, mengumpulkan barang bekas, pondoknya itu dia tanggalkan pula dindingnya. Kalau dia pulang sore, maka mulai dia memasang lagi, agar bisa tidur malamnya.
    Asnimar mengaku sedih, sejak ditinggal suaminya Marlis yang telah meninggal dunia. "Dulu, suami awak kerjanya tukang jahit dan bisa mengontrak rumah untuk tempat tinggal. Sekarang, apa yang hendak dikata. Biduk ini awak kayuh surang. Anak-anak masih kecil, yang tahunya hanya merengek kalau lagi lapar minta makan," ungkapnya.
    Sebagai orang miskin dan hidup susah, Asnimar tak pula menapik kalau dia pernah dibantu Walinagari Balah Air berupa uang Rp500 ribu. Soal rumah tempat tinggal, memang dia kadang-kadang dibenci oleh orang kampung itu, karena tak punya kemampuan untuk membuat rumah.
    Menjelang awak media meninggalkan kediamanya, Asnimar tampak mulai memasang alat kelengkapan untuk dia dan anak-anaknya berteduh di malam hari. Tumpukan bahan plastik yang dicarinya kemarin masih berserakan di sebuah sudut. Dia mengaku, dari hasil penjualan plastik itu mendapatkan uang Rp40 ribu sehari.
    Dari uang sebanyak itu dia hidup bersama tujuh orang putra-putrinya yang masih kecil. Ingin dia punya rumah kayak orang kebanyakan, namun tak kuasa untuk itu. Kadang ada temannya yang merasa iba melihat nasihnya, maka diberilah dia tumpangan tempat tinggal barang sehari atau dua harinya. (501)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar