Rabu, 28 Agustus 2019

Cerita Keluarga Muslim Tinggal di Pondok Buruk Kecil Pula, Seorang Anak Mengalami Gizi Buruk

Parit Malintang--Pondok kecil yang dibangun pascagempa 2009 silam itu tampak sumpek. Terasnya penuh dengan bentangan tali yang sengaja di pasang untuk jemuran kain manakala musim hujan. Tak ada kursi tamu dalam rumah. Ruangan dalam lepas saja. Hanya diberi kain pembatas, menandakan dalam rumah itu ada kamar.
Di rumah yang terletak di Korong Pasa Balai, Nagari Parit Malintang itulah pasangan Muslim (43 tahun) dan Yuni Marlina (33 tahun) tinggal. Satu dari tiga anak pasangan keluarga ini, Rani Musfina pernah mengidap gizi buruk tiga tahun lalu. Kini, kondisi anaknya itu tak sebanding usia dengan berat badannya. Sudah ukuran masuk SD, namun masih harus bertahan di sekolah TK. Berdekatan dengan rumah itu, ada pula sebuah pondok yang merupakan bantuan gempa dari pihak peduli, yang hingga saat ini masih ditempati oleh adik dan mertua Muslim.
"Dalam rumah ini ada enam orang tinggal tiap malamnya. Kami berlima dengan tiga anak, dan seorang lagi ada adik ipar laki-laki. Sedangkan rumah pondok yang satunya lagi enam orang tinggal tiap hari," cerita Muslim.
Muslim yang dalam kesehariannya tukang ojek di Simpang Pasadama, pertigaan ke Kantor Bupati Padang Pariaman. Di samping itu, Muslim juga menerima panggilan urut refleksi. "Kondisi saat ini, mencari uang Rp50 ribu sehari lewat ojek susahnya minta ampun. Sebab, banyak pegawai yang habis turun dari mobil umum, ada saja tumpangan gratisnya menuju tempat kerjanya," kata Muslim.
Begitu juga panggilan pijat refleksi yang dilakoni Muslim sejak 2009 silam, sama sekali tak bisa dijadikan profesi andalan yang mendatangkan banyak kemasukan. "Saya dapat ilmu mengurut ini di salah satu pondok pesantren di Jawa. Awalnya mencoba kepandaian ini, saya lakukan kepada kedua orangtua saya. Keduanya inilah yang setelah diurut mempromosikan kepada banyak orang, lantaran orangtua saya berjualan di pasar," sebutnya.
"Kepada orangtua, saya pesankan; kalau ada yang bertanya berapa syaratnya urut ini, jawab saja, tidak ada bandrolnya," ulas dia. Jadi, katanya, misi Muslim menerima panggilan urut, semata-mata ikhlas karena menolong. Kalau orang itu memberi uang, ya itulah rezeki.
Bagi Muslim, hidup memang banyak tantangan dan harus dijalani dengan suka cita. "Ya, kalau keinginan punya rumah rancak tentu ada dan itu manusiawi. Dan insya Allah, pekan depan akan mulai melakukan batu pertama pembangunan rumah, lewat "julo-julo tukang" yang dilakoninya sejak beberapa tahun lalu bersama sejumlah anggota masyarakat Parit Malintang," katanya.
Memang, saat didatangi rumahnya di pinggir jalan Pakandangan - Parit Malintang, tampak onggokan pasir dan batu kali. "Kalau di kampung ini membangun rumah, ya dengan julo-julo. Sebulan sekali kita ngumpulkan dua zak semen dengan dua hari kerja di lokasi anggota yang menerima. Kalau dengan uang kontan, rasanya sangat tidak mungkin membangun rumah yang layak seperti orang banyak itu," katanya.
Yuni Marlina, sang istri Muslim tak mau berdiam diri. Dia bekerja di sawah dan ladang orang lain. Maka tersebutlah perempuan yang dikawini Muslim sejak pascagempa itu sebagai buruh harian lepas. "Yang namanya kerja serabutan itu, kadang ada, kadang tidak ada. Tak selalu pula mulusnya jalannya," ujar Muslim.
Yang sedikit meringankan beban hidup Muslim bersama keluarganya ada Program Keluarga Harapan (PKH) dari Dinas Sosial Padang Pariaman yang setiap bulan dia terima berupa lima kilogram beras dan selapik telor ayam ras. "Baru tiga kali menerima, karena baru dimasukin barangkali dalam korong ini.
Sementara, Yurnita, ibunya Yuni Marlina atau mertua Muslim lebih banyak menumpang hidup dengan sang anak. "Anak saya ada enam orang. Karena rumah hancur dan punah akibat gempa, dibuatlah pondok ini, dan satunya lagi pondok bantuan darti Aceh. Jadi, dalam dua pondok kecil ini semuanya tiga KK, dengan 11 jiwa. Bila malam tidurlah bersempit-sempit," cerita Yurnita. (501)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar