Rabu, 19 Februari 2020

Belajar dari Nazar Sidin yang Selalu Memberikan Sesuatu kepada Partai

Ditemui di kediamannya di kawasan Komplek Puri Beta, Tangerang, Provinsi Banten tampak H. Nazar Sidin santai dan tenang. Dia bersama anaknya, Jeffry Ens habis melakukan shalat Jumat. Penulis bersama Ketua DPW PKB Sumatera Barat, H. Febby Datuak Bangso Nan Putiah dan Wakil Ketua; H. Aminullah sengaja datang menemui Ketua DPW PKB Sumbar pertama itu, untuk sebuah silaturrahim dan tentunya ingin belajar banyak tentang membangun partai yang baru saja selesai dari berbagai kemelut ini.

Kami meluncur dari Jakarta Pusat menggunakan mobil Avanza, setelah sebelumnya ziarah ke makam Bung Hatta, di Tanah Kusir, Jakarta Timur, Jumat (18/5-2012). Terasa waktunya sangat pas, karena Nazar Sidin dalam keadaan siap untuk menerima tamu. Apalagi tamu itu merupakan anak muda yang ingin membuat sejarah baru dalam partai yang dia pimpin dari 1998 hingga 2004 tersebut.

Dia merasa tersanjung. Ingatannya tentang percaturan PKB Ranah Minang yang dia kendalikan dulunya, kembali terngiang-ngiang dalam ingatannya, setelah bincang-bincang kami diawali oleh Febby, Ketua PKB yang tak ingin berdiam diri. Memang, sewaktu pertama kali memimpin PKB di daerah yang bukan basis, banyak suka duka yang dialami Nazar Sidin bersama kawan-kawannya.

Apalagi kala itu kepengurusan hanya main tunjuk-tunjuk saja, baik yang di DPW hingga ke DPC-DPC. Tetapi, PKB cukup punya andil yang lumayan besar semasa dipimpinnya. Ada sejumlah anggota DPRD yang duduk di kabupaten dan kota, serta dia sendiri yang duduk di DPRD Provinsi Sumatera Barat.

Sebagai orang yang dikenal santun dan selalu punya solusi dari berbagai persoalan yang dihadapi DPC PKB dulunya, hingga kini seorang Nazar Sidin masih tetap begitu. Walaupun bicaranya agak mulai susah, lantaran penyakit stroke yang menyerangnya sejak beberpa tahun yang silam, namun dia tetap mampu mengingat kenangan manis yang pernah dia torehkan dulu bersama pengurus lainnya.

"Awalilah kepemimpin itu dengan tulus dan ikhlas. Jangan kemukakan uang. Sebab, PKB didirikan oleh ulama yang tergabung dalam Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU). Seperti diketahui, para ulama dalam melakukan perjuangan tidak banyak berharap, selain dari karunia Allah SWT. Dan demikian itu telah kita mulai pada saat PKB hadir pertama kali di bumi Ranah Minang. Saya bersama Saaruddin Stani dipanggil oleh Buya Gani Latif. Buya yang pertama kali mendapat mandat itu tak ingin bola mati di tangannya. Lalu kami datang, ngobrol atau rapat-rapat kecil di rumahnya, mempersiapkan PKB Sumbar itu seperti apa," cerita Nazar Siddin.

Acap juga pertemuan pasca pertama kali bersua bersama di rumah Buya Gani Latif demikian. Bahkan, kami juga melakukan rangkaian pertemuan di rumah Buya Aziz Shaleh Tuanku Mudo, tokoh NU yang sangat terkenal. Setelah berkali-kali melakukan pertemuan, barulah dibuat struktur kepengurusan, yang Ketua Dewan Syura-nya langsung dijabat Buya Gani Latif. Waktu tak panjang untuk bersantai-santai. Dalam beberapa hari lagi Pemilu 1999 akan digelar.

Kami berjalan dengan segala kekurangan dan kelemahan. Memanfaatkan semua relasi, terutama mereka yang pernah bergelud dan berkiprah dulunya di organisasi Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII). Begitu juga tokoh-tokoh NU yang ada di daerah di hubungi, lalu di buatlah kepengurusan pada tingkat kabupaten dan kota.

Nazar Sidin tampak optimis PKB Sumbar kedepan bisa lebih baik dan rancak. Sosok anak muda yang mendominasi pengurus PKB daerah ini dinilainya mampu membuat perubahan terhadap partai itu sendiri. Memang, pada zamannya PKB belum mampu berbuat banyak. Di samping dia yang duduk di DPRD provinsi, adalagi di DPRD Kabupaten Pesisir Selatan, Limapuluh Kota, Pasaman, Kabupaten Solok, Sijunjung masing-masing satu anggota dewan asal PKB. Dengan keterbatasan tersebut, Nazar Sidin selalu jadi harapan dan tumpuan bagi banyak DPC kala itu.

Baginya, setiap kali anggota dan pengurus DPC PKB yang datang ke rumah dan kantornya, selalu membawa berkah tersendiri. Uang partai yang ada di pemerintahan selalu diberikannya buat pembangunan partai. Dia tidak ingin konstituen dan pengurusnya pulang ke rumah dengan kecewa. Bahkan, untuk bon minyak bensin sekalipun ikut diberikannya kepada warga PKB yang datang menemuinya. Itulah sosok Nazar Sidin dalam membangun partai.

Dia mengajak pengurus PKB Sumbar saat ini untuk selalu mengemukakan politik santun. Baik terhadap sesama, maupun terhadap eksternal di luar PKB. Dengan santun itulah banyak orang akan segan melihat partai yang didirikan ulama ini. Dan juga dengan ini pula kita mampu berbuat yang lebih untuk kebesaran partai. Sejak dulu, kita sangat berniat dan bertekad untuk bisa urang awak duduk di Senayan lewat PKB ini.

Melihat perkembangan yang ada saat ini, ketika membandingkan dengan PKB dulu, Nazar Sidin yakin PKB Sumbar akan mampu untuk itu. Bagi Nazar Sidin yang banyak menghabiskan waktunya untuk duduk dan berdiam diri, tetap selalu ingin PKB Sumatera Barat tampil kedepan, memberikan keseimbangan pergerakan ulama, di mana Ranah Minang adalah kampungnya ulama.

Secara struktur, memang ulama daerah ini tidak banyak yang singgah di NU. Namun secara kultur, ulama urang awak adalah penganut paham Ahlussunnah wal jamaah, yang notabene PKB lah satu-satu partai di republik ini yang berpahamkan demikian.

Seperti diketahui, Nazar Sidin pada Muswil PKB Sumbar pertama terpilih sebagai Ketua Dewan Syura, menggantikan Buya Gani Latif yang telah berusia lanjut. Sebelum berkiprah di PKB, Nazar Sidin merupakan seorang birokrat, yang mengakhiri karirnya di Biro Humas Provinsi
Sumatera Barat.

Dia juga seorang penulis, yang telah banyak melahirkan karya buku. Semasa dia menjabat Kepala Biro Humas, Gamawan Fauzi, yang pernah menjabat Menteri Dalam Negeri RI pada Kabinet Indonesia Bersatu Jilid II, adalah stafnya yang membidangi Pemberitaan. Setelah
pensiun, Nazar Sidin langsung terjun ke PKB, karena panggilan ulama; Buya Gani Latif dan saran dari teman-temannya semasa di PMII. Dia merasa beruntung, karena selama memimpin PKB tidak terjadi konflik, yang banyak menghabiskan energi.

Buya Abdul Gani Latif

Dijadikannya Nazar Sidin sebagai Ketua DPW PKB Sumbar periode pertama, tidak bisa dilepaskan dari pengaruh besar yang dimainkan Buya Abdul Gani Latif, yang ketika itu beliau sendiri yang menjabat Ketua Dewan Syura-nya. Buya adalah tokoh teras NU Ranah Minang. Seperti ditulis oleh Bagindo Armaidi Tanjung di NU Online, Buya Gani Latif adalah seorang ulama yang sekaligus pejuang. Ketika tentara Jepang masuk ke Indonesia tahun 1942, Sekolah Tinggi Islam ditutup. Masyarakat diarak untuk mengikuti kerja rodi (paksa). Seperti pemuda lainnya, Buya mengikuti latihan militer di Kandang Ampet, Kabupaten Padang Pariaman untuk kepentingan Jepang. Tahun 1946, Buya dengan pangkat Letnan Dua ditugaskan sebagai Staf Resimen VI. Karirnya sebagai orang militer tidak berlanjut. Tahun 1950 Buya meninggalkan tugas militer, dan selanjutnya beralih menjadi seorang guru agama.

Buya Lahir tahun 1920 di Desa Siteba, Kecamatan Nanggalo (sekarang kawasan perumahan dan pasar) Kota Padang. Sebagai orang Minangkabau, Buya Gani, begitu dia akrab dipanggil, menyandang gelar pusako Malin Mudo, sekaligus kepala waris dalam kaum Suku Koto di kaumnya. Masa kecilnya sama seperti anak-anak lain ketika negara Indonesia masih dijajah bangsa Belanda. Menghabiskan waktu untuk  mengaji di surau. Usia sekolah, Buya kecil masuk sekolah desa (Governemen) dan meneruskan pendidikan ke Thawalib Padang Japang, Kabupaten Limapuluh Kota selama satu tahun. Selanjutnya pindak ke Thawalib Tiakar, Payakumbuh sampai tamat tahun 1935. Setahun kemudian Buya melanjutkan pendidikan ke Normal Islam di Padang, dibawah pimpinan H. Muhammad Yunus, tamat tahun 1940. Kemudian tahun 1941 melanjutkan ke Pendidikan Islam Tinggi (semacam perguruan tinggi IAIN sekarang) sebagai lanjutan Normal Islam.

Sebelum Jepang menjajah Indonesia, Buya Gani pernah mendirikan Sekolah Thawalib tahun 1935. Tahun 1936 tercatat 190 orang muridnya. Tempat belajarnya menggunakan beberapa surau yang ada disekitar sekolah yang setingkat dengan Tsanawiyah ini. Pendirian sekolah itu dilakukannya karena dorongan amanah dari Syekh Ibrahim, guru Buya Gani. Dengan alasan, kurangnya lembaga pendidikan agama di Padang. Materi yang diajarkan diperoleh dari gurunya Syekh Ibrahim Hasan, seperti Ilmu Nahwu, Sharaf, Mantiq, Tarikh, Tafsir, Fiqih, dan lain-lain. Namun sekolah itu tidak berumur panjang, lantaran ditutup Belanda, karena dinilai menentang pemerintahan. Buya tidak kehilangan akal. Nama sekolah tersebut digantinya menjadi Persatuan Islam.

Tahun 1959 Buya Gani masuk organisasi Partai Nahdlatul Ulama (PNU). Setelah terjadinya pemberontakan PRRI di Sumatra Barat, memang banyak tokoh agama Islam yang berbondong-bondong bergabung dengan NU, sebagian benar-benar bermaksud memajukan syiar Islam bersama NU, sebagian lainnya sekedar agar tidak dianggap pemberontak. Dengan cara bergabung dengan NU, banyak ulama yang diselamatkan oleh Buya Gani dari anggapan pemberontak. Diantaranya; Buya H. Darwas Idris dan Buya Yacub Thalib. Gelar 'Kyai' diperoleh Buya Gani dari Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) tahun 1984. Sejak bergabung dengan NU, beliau aktif dalam berbagai aktifitas NU, termasuk ketika NU berafilisai dengan PPP dan ketika NU memasilitasi pendirian PKB, hingga terakhir beliau dipercaya menjadi Rais Syuriah PWNU Sumatra Barat (1999 – 2004). Wajar saja, Nazar Sidin, Saaruddin Tsani, Amirdas Datuak Kudo Bagak masuk PKB pertama kalinya karena dorongan kuat Buya demikian. Dialah orang pertama yang menerima mandat dari Gus Dur dan DPP PKB.

Buya Gani wafat tahun 2003 di Padang. Meskipun PKB hadir pada saat usianya telah lanjut, tetap saja jasanya menjadi spirit oleh generasi berikutnya. Menurut Firdaus Djafri, cucu Buya Gani, Buya wafat meninggalkan tujuh orang anak; Hj. Jafri Gani, Hj. Hastini Gani, Fahri Gani, Aisyah Gani, Khadijah Gani, Rahimi Gani, dan Mujahid Gani.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar