Senin, 14 Maret 2016

Produsen Batu Bata Keluhkan Tidak Adanya Standar Harga.

Produsen Batu Bata Keluhkan Tidak Adanya Standar Harga.

Parit Malintang--Beginilah aktivitas Edi Kumar. Produsen sekaligus pekerja kasar pembuat batu bata, di Nagari Parit Malintang, Kabupaten Padang Pariaman. Edi telah menjadi produsen batu bata sejak 1971 yang lalu. Selama 45 tahun tersebut telah banyak perubahan dan pengalaman yang ia dapatkan.
    Proses pembuatan batu bata dilakukannya dengan sangat tradisional. Dimulai dengan penyortiran tanah dari perbukitan, dilanjutkan pengolahan tanah menjadi lunak dengan bantuan seekor kerbau, hingga proses pencetakan. Usai dicetak, proses penjemuran dilakukan seharian bila terik matahari bagus. setelah itu, baru masuk pada proses pembakaran dalam gudang atau tungku.
    Saat ini, telah ada seratus gudang produsen batu bata di Parit Malintang. Dalam sehari, satu gudang mampu menghasilkan 700 batu bata mentah per harinya. Sekitar dua kali sebulan, mereka dapat menghasilkan 15 ribu batu bata siap pakai. Namun proses tersebut tidak selalu berjalan lancar.
    "Pengaruh cuaca, permintaan pelanggan serta modal awal menjadi alasan utama untuk memproduksi bahan bangunan tersebut," kata dia.
    Edi Kumar selaku pengusaha pembuat batu bata di Parit Malintang, tidak selalu mendapatkan keuntungan yang banyak. Menurutnya, keuntungan batu bata hanya sedikit. "Yang jelas, makan sehari-hari bersama keluarga bisa tertutupi," ungkapnya.
    Dia menyebutkan, harga batu bata saat ini Rp40 ribu untuk 100 buah. Sebuah batanya dinilai seharga Rp3.050. Jika ingin mendapatkan keuntungan lebih, seharusnya harga batu bata sedikit lebih dari harga saat ini.
    Permasalahan tersebut juga dibenarkan oleh Hasanuddin, Ketua Kelompok Persatuan Produsen Batu Bata Nagari Parit Malintang. Hasan Mengungkapkan, hal itu disebabkan tidak adanya standar harga tetap batu bata di pasaran.
    "Meningkatnya kebutuhan batu bata alias tembok ini, adalah akibat pembangunan yang semakin menjulang. Sayangnya, kalau lagi tidak musim pembangunan, maka usaha ini redup pula," ujarnya.
    Analisa Hasan, keuntungan besar pada batu bata ini selalu berpihak pada agen selaku penampung. Para produsen batu bata, selalu mendapat tekanan harga terendah, sehingga sering membuat mereka rugi. "Ya, paling kentara itu rugi akan tenaga," sebutnya.
    Tetapi, tambah Hasan lagi, produsen batu bata di Parit Malintang banyak yang tidak bergantung pada agen. Artinya sebagian kecil yang hanya memiliki induk semang. Sehingga persaingan harga sering tidak sehat, dan selalu menjadi dilema. Mereka berharap peranan pemerintah daerah terkait pengaturan standarisasi harga sangat dibutuhkan. (501)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar