Pariaman--Peristiwa pencabulan terhadap bocah-bocah perempuan kian merisaukan. Terungkapnya bocah SD dicabuli pelajar SMP bergiliran di kandang kambing sebagaimana dirilis media online beberapa waktu lalu, patut menjadi perhatian semua pihak. Jika tidak ada tindakan preventif dari pihak terkait, baik pemerintah, masyarakat, maupun keluarga, maka kasus ini akan terus bermunculan di tengah masyarakat.
Demikian kesimpulan yang diungkapkan pemerhati masalah sosial, Armaidi Tanjung dan Pimpinan Rumah Penitipan Sosial Anak (RPSA) Delima Kota Pariaman, Fatmi Yetti Kahar yang dihubungi secara terpisah, Jumat (23/2) di Pariaman.
Sebagaimana diberitakan, 4 orang pelajar, 2 di SMP dan 2 di kelas 4 SD, diduga mencabuli bocah perempuan yang masih berusia di bawah umur. Pelaku, sebut saja Buyung (13), bukan nama sebenarnya, bersama tiga orang rekannya diduga cabuli Melati (9), bukan nama sebenarnya, pelajar kelas 3 SD. Akibatnya Buyung, warga salah satu desa/kelurahan di Kecamatan Pariaman Tengah, dilaporkan oleh orangtua Melati ke Polres Pariaman pada Kamis (15/2) silam. Dari keterangan terlapor, terungkap, perbuatan cabul dilakukan Buyung Cs sejak Oktober 2017 hingga Februari 2018, terakhir 5 Februari 2018 silam.
Menurut Armaidi, peristiwa ini harus menyadarkan kita bahwa perilaku seks diluar nikah sudah menimpa anak-anak. "Karena pelakunya masih di usia anak-anak atau remaja, maka korbannya pun dapat dipastikan perempuan bocah. Karena perempuan bocahlah yang bisa ditundukkan oleh anak, sipelaku," kata Armaidi, Sekretaris Lembaga Konsultasi Kesejahteran Keluarga (LK3) Padang Pariaman itu.
"Di tengah keterbukaan informasi melalui internet, hape android, media sosial, whatshapp, siapa saja tanpa terkecuali bocah dan anak-anak, dapat dengan leluasa menyaksikan adengan pornografi," ujar dia.
Tayangan laki-laki dan perempuan, tambah Armaidi, tengah berhubungan intim tanpa sehelai busana pun bisa disaksikan berulang-ulang oleh anak. Hal ini sangat mungkin mendorong anak laki-laki meniru dan melakukan hubungan intim dengan perempuan. Tentu saja sasarannya adalah perempuan bocah yang dapat ditunduhkannya.
Menurutnya, semakin kurangnya keakraban dan kedekatan orangtua dengan anak, maka semakin mendorong terjadinya kasus pencabulan. "Bayangkan, kasus pencabulan yang menimpa si bocah sudah berbulan-bulan dan berkali-kali dilakukan, ternyata orangtua, khususnya ibunya tidak mengetahui kejadian demikian. Seharusnya bisa melihat dan mengamati perubahan pada diri anak perempuan yang dinodai laki-laki. Artinya kontrol keluarga terhadap anak semakin longgar,” ungkapnya.
Hal senada juga diungkapkan Pimpinan RPSA Delima Pariaman Fatmi Yetti Kahar. Katanya, peristiwa pencabulan menunjukan kontrol keluarga terhadap anak semakin menipis. Di samping itu, akibat anak tidak paham dengan pendidikan seks, apa akibat dan risiko dari perbuatan seks diluar nikah. Mungkin sudah sepatutnya ada pendidikan seks kepada anak-anak sehingga mereka tidak berbuat yang salah. Apalagi seks tidak tabu bagi mereka, karena informasi yang tidak mendidik dengan mudah diperolehnya.
Dari data yang ada di RPSA, kata Fatmi yang akrab disapa Teta Sabar ini, selama 2018 ini saja sudah terjadi 6 kasus cabul. Sebanyak 4 kasus terjadi di Kota Pariaman, dan 2 kasus di Padang Pariaman. Sedangkan 11 kasus terkait dengan anak berhadapan dengan hukum (ABH).
"Kasus pencabulan ini memang memprihatinkan. Harus ada tindakan nyata dari Pemerintah Daerah mengantisipasinya, jangan terulang kasus pencabulan terhadap bocah-bocah perempuan," kata Teta mengakhiri. (501)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar