Minggu, 08 Desember 2019

Ada Zikir dan Doa Bersama Usai Shalat Berjemaah di Masjid Jamik Bengkulu

Bengkulu--Jumat (1/11/2019) petang perjalanan Padang Pariaman, Sumbar ke Kota Bengkulu dimulai. Sebagai pengurus Komite Olahraga Nasional Indonesia (KONI) daerah kami memberikan dukungan kepada atlit yang berlaga pada Pekan Olahraga Wilayah (Porwil) Sumatera yang berlangsung pada 3 - 9 November di Bumi Raflesia tersebut.
Menggunakan mobil pribadi Ketua Umum KONI Padang Pariaman H. Achmad Syukri, kami berangkat enam orang pengurus dan keluarga Ketum melewati Kota Padang dan Pesisir Selatan. Setelah Ketum Shalat Asar di Masjib Baiturrahmah Padang, mobil terus bergerak menuju Painan. Azan Magrib, kami baru tiba di Bungus, Teluk Kabung, Padang.
"Kita santai dan menikmati perjalanan ini," kata Achmad Syukri yang diamini Wakil Ketua KONI, Hendri Gusvira. Mobil yang dikemudikan anak Pak Syukri tampak bersahabat, dan tahu betul kalau penumpangnya orang-orang yang sudah berumur. Irmana musik dalam perjalanan menjadikan hiburan tersendiri, di tambah rancaknya jalan lintas Sumbar - Bengkulu via Pesisir Selatan tersebut.
Setelah berhenti dan istirahat, shalat dan makan malam di Bungus, pemberhentian berikutnya adalah menjelang batas provinsi. Masih dalam jalan lintas yang mulus, sambil melepaskan penat, tentunya ada yang menikmati mie rebus, kopi dan minuman lainnya. "Sedikit lagi jalan agak buruk, pak," kata yang punya kafe saat kami tanya jarak ke batas Bengkulu.
Menurut dia, paling 15 kilometer lagi, sudah sampai di perbatasan. Malam Jumat itu sekira pukul 23.33 Wib. Dia memperkirakan sampai di Muko-Muko sekitar pukul 01.30 Wib. Ternyata perkiraan anak muda punya kafe itu tak meleset. Dan memang, jalan berlobang, ada petunjuk sapi dalam perjalan. Dini hari itu ada sebuah penginapan lewat Bandara Muko-Muko, kami berhenti dan istirahat sampai pagi di situ.
Sabtu pagi, setelah sarapan dan menyelesaikan administrasi penginapan, kami melanjutkan perjalanan. "Yang penting pas pembukaan Powil oleh Menpora Zainuddin Amali, kita tiba di Bengkulu," ujar Syukri. Sementara, rombongan KONI Kota Pariaman yang dikontak Syukri rupanya terus melakukan perjalanan malam itu, dan tiba di Bengkulu pagi Sabtu (2/11/2019).
Sere menjelang, kami memasiku Kota Bengkulu. Berhenti di depan Masjid Jamik, sambil istirahat. Bengkulu, seperti di tulis Wikipedia pernah berdiri kerajaan-kerajaan yang berdasarkan etnis seperti Kerajaan Sungai Serut, Kerajaan Selebar, Kerajaan Pat Petulai, Kerajaan Balai Buntar, Kerajaan Sungai Lemau, Kerajaan Sekiris, Kerajaan Gedung Agung, dan Kerajaan Marau Riang. Di bawah Kesultanan Banten, mereka menjadi vazal. Sebagian wilayah Bengkulu, juga pernah berada di bawah kekuasaan Kerajaan Inderapura semenjak abad ke-17.
British East India Company (EIC) sejak 1685 mendirikan pusat perdagangan lada. Bencoolen/Coolen yang berasal dari bahasa Inggris "Cut Land" yang berarti tanah patah wilayah ini adalah wilayah patahan gempa bumi yang paling aktif di dunia dan kemudian gudang penyimpanan di tempat yang sekarang menjadi Kota Bengkulu. Saat itu, ekspedisi EIC dipimpin oleh Ralph Ord dan William Cowley untuk mencari pengganti pusat perdagangan lada setelah Pelabuhan Banten jatuh ke tangan VOC, dan EIC dilarang berdagang di sana. Traktat dengan Kerajaan Selebar pada tanggal 12 Juli 1685 mengizinkan Inggris untuk mendirikan benteng dan berbagai gedung perdagangan. Benteng York didirikan tahun 1685 di sekitar muara Sungai Serut.
Sejak tahun 1713, dibangun Benteng Marlborough (selesai 1719) yang hingga sekarang masih tegak berdiri. Namun, perusahaan ini lama kelamaan menyadari tempat itu tidak menguntungkan karena tidak bisa menghasilkan lada dalam jumlah mencukupi. Sejak dilaksanakannya Perjanjian London pada tahun 1824, Bengkulu diserahkan ke Belanda, dengan imbalan Malaka sekaligus penegasan atas kepemilikan Tumasik/Singapura dan Pulau Belitung). Sejak perjanjian itu Bengkulu menjadi bagian dari Hindia Belanda.
Penemuan deposit emas di daerah Rejang Lebong pada paruh kedua abad ke-19 menjadikan tempat itu sebagai pusat penambangan emas hingga abad ke-20. Saat ini, kegiatan penambangan komersial telah dihentikan semenjak habisnya deposit. Pada tahun 1930-an, Bengkulu menjadi tempat pembuangan sejumlah aktivis pendukung kemerdekaan, termasuk Sukarno. Pada masa inilah Sukarno berkenalan dengan Fatmawati yang kelak menjadi istrinya.
Setelah kemerdekaan Indonesia, Bengkulu menjadi Keresidenan dalam Provinsi Sumatra Selatan. Baru sejak tanggal 18 November 1968 ditingkatkan statusnya menjadi provinsi ke-26 (termuda sebelum Timor Timur).
Bengkulu memiliki kerajinan tradisional batik besurek, yakni kain batik yang dihiasi huruf-huruf Arab gundul dan diakui oleh pemerintah Republik Indonesia sebagi salah satu bagian warisan budaya Republik Indonesia serta turut memperkaya khazanah budaya di Indonesia. Kebudayaan Bengkulu memiliki beberapa ciri berbeda karena dipengaruhi oleh suku-suku berbeda yakni kebudayaan suku Rejang, suku Serawai, dan suku Lembak. Budaya tabut merupakan satu kultur unik yang memadukan tradisi lokal dengan Islam Syiah secara kultural, tulis Wikipedia.
Hanya dua malam di Bengkulu, setelah menunaikan tugas melihat helat Porwil X yang didalamnya juga ada atlit Kabupaten Padang Pariaman yang memperkuat tim Sumatera Barat, kami menuju pulang melewati Curup, Kepahiang terus ke Linggau. Artinya, perjalan dari 1 - 4 November 2019 ini melewati dua arah pintu masuk Bengkulu.
Kami sempat Shalat Zuhur di Masjid Jamik. Sebuah masjid yang pernah direnovasi Bung Karno pada 1938 - 1942, semasa Presiden pertama itu diasingkan di Bengkulu. Tradisinya sama dengan masjid lama yang ada di Padang Pariaman. Setelah shalat berjemaah, ada tradisi zikir dan doa bersama dengan bahasa yang zaharkan.




Tidak ada komentar:

Posting Komentar