Padang Pariaman---Ada satu kekuatan adat bagi sebagian masyarakat di Padang Pariaman pada momen Idul Fitri. Mambantai adat namanya. Hal ini nyaris berlaku disetiap kampung. Namun, tatacara pelaksanaannya yang berbeda. Yang paling sakral dan kental nuansa adatnya ada di Nagari Ulakan, Kecamatan Ulakan Tapakis. Di sana dilakukan penyembelihan kerbau secara serentak sehabis shalat Id. Ulakan secara adat, adalah masyarakat yang mendiami 19 korong, yang sekarang telah dimekarkan jadi pemerintahan nagari pula.
Diperkirakan ratusan kerbau yang didabiah. Bertambah banyak penduduk, maka bertambah pula kerbau yang di 'bunuh' untuk santapan rayo. Hebatnya di Ulakan itu, setiap masyarakat korong menyembelih dalam satu tempat, yakni di tanah Lapangan Pakudoan, Kampuang Galapuang. Uang untuk pembeli kerbau itu diangsur oleh masyarakat kepada orang yang dituakan dalam satu korong. Di buat kesatuannya di setiap surau.
Menjelang shalat Id, semua kebutuhan masyarakat terhadap daging telah dilunasinya. Daging dibagi secara berumpuk-umpuk. Satu umpuknya senilai Rp110 ribu. Masyarakat membelinya sesuai kebutuhan. Setiap kerbau itu disembelih oleh orang siak yang ada di surau dimaksud. Para pemuda kampung mengerjakannya secara sukarela.
MZ. Datuak Bungsu, salah seorang tokoh adat di Nagari Ulakan menyebutkan, mambantai adat ini telah berlangsung lama. Bahkan tercatat sejak sebelum Syekh Burhanuddin datang mengembangkan agama Islam. "Boleh dikatakan kegiatan itu adalah tradisi orang Hindu dulunya, yang diteruskan hingga saat ini. Namun, pelaksanaannya tentu dengan syariat agama Islam itu sendiri," kata dia.
"Di sebut mambatai adat, karena yang menyelenggarakan kaum adat, yang terdiri dari para niniak mamak, atas restu para ulama, yang dulunya oleh Syekh Burhanuddin itu sendiri. Hal ini boleh dibilang sebagai acara 'bancakkan binatang', yang kalau di daerah lainnya banyak juga dilakukan. Seperti kita lihat di Kalimantan bancakkan kerbau, sama juga dengan di Ulakan ini. Sedangkan di sebagian daerah Tapanuli sana disebut dengan bancakkan babi," ujarnya.
Menurut Datuak Bungsu, tidak kurang dari 300 ekor yang disembelih setiap tahunnya. Kegiatan ini juga sama dengan yang dilakukan oleh masyarakat Nagari Tapakis dan Nagari Ketaping, karena tiga nagari itu merupakan Nan Sabaris lama. Khusus untuk Nagari Ulakan, tidak boleh masyarakat korong yang menyembelih di surau-nya. Melainkan harus dilakukan di satu tempat. Itu berlaku sejak zaman saisuak.
Jadi, katanya, dalam kegiatan mambantai adat itu tak seorang pun di lokasi pemantaian ini orang yang berjualan daging. Kalau pun ada, itu tidak laku, karena semua masyarakat telah punya daging yang dibelinya secara bersama. Uangnya dikumpulkan untuk satu dua ekor kerbau di setiap surau yang ada.
"Hanya satu hari. Yakni saat usai shalat Id," kata Datuak Bungsu. Korong bapaga buek. Ini tentunya ingin menyamakan semua masyarakat nagari. Artinya, pada saat lebaran yang kaya makan daging, yang miskin pun tak ketinggalan. Insya Allah, lebaran tahun ini, membantai adat akan dilakukan Sabtu (16/6). Itu kalau bulan kelihatan Jumat-nya.
Menurut Datuak Bungsu, Tanah Pakudoan tempat penyembelihan kerbau saat lebaran, Padang Lagundi dan Pulau Piai merupakan harta pengikat orang yang 10 sebagai lambang kekuatan adat di Ulakan, Tapakis dan Katapiang. Di sebut orang 10, karena ulayatnya 10 pula. Mereka Rangkayo Rajo Amai Said, Rangkayo Rajo Dihulu, Rangkayo Rajo Mangkuto, Rangkayo Rajo Sulaiman.
Selanjutnya, Rangkayo Rajo Tambasa, Rangkayo Rajo Majo Basa, Rangkayo Rajo Malako, Rangkayo Rajo Malakewi, Rangkayo Rajo Batuah, dan Rangkayo Rajo Sampono di Katapiang. "Nah, ke-10 orang pemegang ulayat ini bersama dengan ulama, yang terdiri dari labai serta urang siak lainnya didirikan adatnya masing-masing pada saat membantai adat tersebut.
Talaok Kabau Gadang Sintuak Jelang Lebaran
Setidaknya hampir 400-an ekor kerbau memadati Talaok Kabau Gadang, Nagari Sintuak, Kecamatan Sintuak Toboh Gadang, Kamis (7/6). Menurut Walinagari Sintuak Anasril Nazar, Talaok Kabau Gadang merupakan tempat berkumpulnya pedagang ternak kerbau. Pedagang memamerkan ternak kerbaunya kepada masyarakat dan calon pembeli kerbau.
“Calon pembelinya bukan dari kalangan individu, tetapi utusan masing-masing pengurus masjid, surau korong atau surau kaum yang ada di berbagai nagari di Kabupaten Padang Pariaman. Di lokasi ini terjadi transaksi jual beli antara pedagang dengan utusan masjid dan surau tersebut,” kata Anasril Nazar.
Menurut Anasdi Nazar, budaya dan tradisi bantai adat sudah ada di Nagari Sintuak sejak zaman Belanda. Jadi kebanggaan warga Sintuak. Setiap jamaah masjid, surau korong dan surau kaum, membeli daging kerbau bersama-sama yang difasilitasi pengurus dengan kesepakatan seluruh unsur yang ada di tempat masing-masing. Yaitu alim ulama, niniak mamak, cadiak pandai, bundo kanduang dan pemuda.
“Pengurus masjid dan surau bermusyawarah pada patang limo baleh (15 Ramadhan), untuk menentukan jumlah onggokkan (tumpukan) daging kerbau dan menentukan harga satu onggoknya. Musyawarah dihadiri pemuka masyarakat, baik kaum adat, kaum agama dan seluruh jamaah pembeli onggok daging,” kata Anasril Nazar.
Panitia Pelaksana Zeki Aliwardana menyebutkan, Talaok Kabau Gadang sendiri tradisi yang sudah lama ada di Sintuak. Tradisi yang merupakan kearifan lokal ini perlu dilestarikan. Setiap tahun kegiatan ini diadakan pada bulan Ramadhan. “Dengan banyaknya kerbau yang datang, juga diselenggarakan perlombaan kerbau yang paling besar dengan kriteria tersendiri. Tim Juri yang sudah berpengalaman menilai mana kerbau yang layak diberikan juara I, II dan III. Masing-masing pemenang diberikan tropi dan tabanas,” kata Zeki Aliwardana.
Seorang pedagang ternak Zulkifli menyebutkan, pasar ternak Sintuak ini mulai dirintis sejak 2013 lalu. Ada 44 pedagang ternak yang setuju diadakan pasar ternak. Kami pun melapor kepada walikorong, walinagari dan camat setempat. "Alhamdulillah, hingga kini masih bisa jalan. Walaupun masih belum memiliki fasilitas pendukung layaknya pasar ternak," kata Zulkifli yang sudah menekuni profesi pedagang ternak selama 32 tahun atau sejak berusia 15 tahun.
Setiap transaksi jual beli ternak, yang membutuhkan surat jual beli dikenai biaya Rp15 ribu per transaksi. Sedangkan biaya tambangan ternak dikenai sebesar Rp15 ribu per ekor. Sedangkan harga satu ekor kerbau paling mahal berkisar Rp35 – 40 juta. Penawaran antara pedagang dengan pembeli dilakukan dengan marosok, dengan salaman pembeli dan pedagang ditutup kain sehingga orang lain tidak tahu berapa harganya. Cara marosok ini agar tidak menyinggung perasaan pedagang yang lain jika harga jual kerbaunya jauh berbeda dengan ukuran yang sama.
Dari pengamatan di lokasi pasar ternak, selain dipadati ternak kerbau, juga puluhan kendaraan roda dua parkir di sekitar pasar ternak ini. Tentu saja truk pembawa kerbau juga turut meramaikan parkir. Ramainya pengunjung di pasar ternak ini juga dimanfaatkan sejumlah pedagang. (501)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar