VII Koto--"Nak, bangun lai. Sahur. Meriam telah berbunyi. Kito mulai puaso bisuak lai". "Oi nak, bangun, Meriam sudah berbunyi. Harilah rayo". Dua ungkapan ini akrap di kalangan anak-anak Nagari Ambuang Kapua zaman dulunya.
"Zaman dulu, katakanlah sebelum dunia informasi merambah kehidupan masyarakat, para orangtua selalu membangunkan kami dari tidur untuk memulai makan sahur di awal puasa. Begitu juga saat akan mengakhiri puasa untuk melakukan shalat Id. Nyaris meriam saat itu berbunyi jelang Subuh masuk," kata Akhirman Majolelo.
Sejak beberapa tahun ini, Akhirman mulai menyandang gelar Majelelo yang langsung diwarisinya dari mamak kandung yang telah meninggal dunia. Majelelo di Ambuang Kapua merupakan pelaksana tugas atau perpanjangan tangan Rajo dan Tuanku Kadhi VII Koto Sungai Sariak yang berpusat di Ampalu.
Menurut dia, untuk memulai puasa tahun ini, meriam Ambuang Kapua berbunyi Kamis (17/5), karena awal puasanya jatuh pada Jumat. Dan Kamis itu pula bulan kelihatan bagi seluruh kaum Syathariyah. Sedangkan untuk mengakhiri Ramadhan, telah diputuskan, bahwa melihat bulan jatuh pada Jumat (15/6).
"Ya, kalau bulan tampak. Laporan dari utusan Tuanku Kadhi datang, maka kita akan lepas tembakan meriam kembali Jumat tersebut," kata Akhirman. Jadi, di VII Koto Sungai Sariak secara umumnya selalu menyambut dan melepas Ramadhan dengan tembakan meriam.
Meriam ini merupakan senjata perang oleh Belanda. Sepengetahuan Akhirman Majolelo, mulai meriam ini dibunyikan untuk pemberitahuan masuk dan melepas puasa, adalah tahun 1726 M. "Meriam ini memang kecil. Tetapi, kalau diangkat tak bisa hanya seorang. Paling tidak dua sampai empat orang yang mengangkatnya," jelasnya.
Aturan meriam dibunyikan, kata Akhirman, setelah adanya bunyi tabuah (beduk) di Masjid Raya VII Koto atau Surau Gadang Ampalu. Sebab, masjid itu sekaligus kedudukan Tuanku Kadhi VII Koto. Tak berselang lama setelah beduk itu, baru giliran meriam. Meriam ini dibunyikan dua kali saat penyambutan puasa dan dua kali pula saat pelepasan puasa. Sekali arahnya bunyinya ke utara, dan sekali ke selatan.
Dentuman meriam Ambuang Kapua bergema. Menyentakan banyak orang yang sedang tidur. Kemudian disambut oleh bunyian beduk di Mudiak Padang (Tandikek). "Sejak dunia telepon pintar merambah kehidupan masyarakat, maka gema meriam pun berkurang pula. Sebab, hilal atau bulan tampak sudah bisa disebarkan lewat media sosial atau sambungan telepon. Namun, yang namanya tradisi melepas badia meriam ini tak akan dihilangkan. Ini tetap ditegakan, sesuai titah atau amanah yang diterima dari Majolelo yang terdahulu," ulas Akhirman.
Akhirman menyebutkan, kalau dulu sumber hilal kelihatan itu, di samping dari Ampalu sebagai sentral utama, juga dinantikan berita dari Koto Tuo, Agam, tempat bermukimnya pimpinan Syathariyah, Malalo, Ulakan, dan Lubuak Ipuah. "Sekarang hanya menunggu perintah dari Tuanku Kadhi saja," jelasnya.
Kenapa harus pakai meriam? Inilah kesatuan adat dan syarak di VII Koto Sungai Sariak. Akhirman menjelaskan, kalau dirinya merupakan orang suruhan Rajo dan Tuanku Kadhi VII Koto. Nah, orang suruhan ini mesti menyandang gelas Majolelo. Untuk melihat bulan mau akan puasa atau akan mau lebaran, jelas tak akan sempat oleh semua masyarakat. Cukup perwakilan saja. Semisal para ulama dan niniak mamak. Selebihnya, terutama para ibu-ibu cukup menunggu di rumah.
Nah, untuk tersebar-luasnya berita bulan tampak ini, butuh penyampai informasi yang cepat. Inilah adanya zaman dulu itu; meriam peninggalan Belanda yang diselamatkan oleh Rajo VII Koto dulunya. "Kalau zaman dulu itu, bunyi dentuman meriam ini sangat di rasakan oleh masyarakat di VII Koto lama, yakni Padang Sago, Patamuan dan VII Koto Sungai Sariak. Bahkan, sebagian masyarakat Agam yang tinggal di Malalak pun ikut mendengar kerasnya dentuman meriam tersebut," kata Akhirman.
Meriam itu bisa keras dan kuat bunyinya, sebut Akhirman, karena memakai bahan mesiu. Meriam diisi sabut kelapa dengan sangat padatnya. Nah, saat pelepasan itu, tidak hanya sabut kelapa yang hangus terpanggang, dan sekaligus berterbangan. Badia meriam ikut pula terhempas sekian meter dari landasar pelepasan. (501)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar