Halaman

Rabu, 11 Mei 2016

Tradisi Malamang, Sejarah yang Tak Boleh Hilang

Di Padang Pariaman
Tradisi Malamang, Sejarah yang Tak Boleh Hilang

Pariaman--Bulan Sya'ban di daerah Padang Pariaman juga dinamakan dengan bulan lamang. Sebab, dibulan inilah hampir seluruh masyarakat daerah itu melakukan tradisi malamang. Lamang, sebuah makanan yang terbuat dari beras pulut, yang dimasak dengan menggunakan bambu. Tradisi demikian telah berlangsung sejak Syekh Burhanuddin mengembangkan ajaran Islam di daerah tersebut.
    Hingga kini, tradisi malamang disamping dibudayakan pada bulan Sya'ban ini, juga terjadi saat bulan maulid, dan saat melakukan kebiasaan saat peringatan peristiwa kematian. Konon kabarnya, sebelum Syekh Burhanuddin datang mengembangkan Islam di Pariaman yang berpusat di Ulakan, masyarakat daerah itu masih memeluk agama nenek moyangnya, Hindu dan Budha. Dengan demikian, persoalan makanan yang dilakukan umat dulu itu tidak ada yang menyaring. Asal ketemu dimakan saja. Nah, Syekh Burhanuddin orang yang telah lama tahu dengan Islam sangat tidak ingin makan sembarangan.
     Begitu juga, tata cara pengembangan Islam yang dilakukan Syekh Burhanuddin, banyak menggunakan jalur adat istiadat yang telah berkembang dikampung tersebut. Setiap kali Syekh Burhanuddin bertandang kerumah masyarakat, dia tidak mau memakan makanan yang diletakkan oleh yang punya rumah. Terus menerus hal itu terjadi tentu mejadi sebuah pertanyaan bagi masyarakat jamaahnya. Syekh Burhanuddin pun menjelaskan, kenapa dia tidak mau makan ? Menurutnya, tempat memasak makanan tersebut masih mengandung najis, perlu disucikan. Saya mau makan, apabila makanan itu dimasak dari alat yang belum tersentuh najis. Maka timbullah inisiatif masyarakat untuk membuat makanan yang dimasak dari bambu tersebut, yang pada akhirnya disebut dengan lamang.
    Itu cerita dari banyak pihak, terutama pendapat para ulama yang ada didaerah Padang Pariaman tentang tradisi malamang yang hingga kini masih melekat di tengah masyarakat itu sendiri. Pada bulan Sya'ban seperti ini, boleh dilihat hampir seluruh rumah masyarakat membuat yang namanya lamang disiang hari, dan malamnya berkumpul bersama urang siak. Para urang siak itu sengaja diundang oleh yang punya rumah, untuk memintak kaji nan sapatah, doa nan sakulimah. Sebelum hajatan itu dilangsungkan, maka yang punya rumah menyampaikan tujuan dan maksudnya kepada seluruh urang siak yang hadir. Yang kesimpulannya, nan dimukasuik sampai, nan diama pacah. Hidup dalam beramal, mati dalam beriman.
    Jadi, tradisi malamang erat kaitannya dengan minta doa selamat, terutama terhadap anggota keluarga yang punya rumah yang telah meninggal. Tradisi demikian, saking banyaknya rumah disetiap korong, hampir setiap hari dan malam berlangsungnya. Sebab, bulan Sya'ban hanya 30 hari, kalau rumah masyarakat dalam satu korong itu mencapai 100 an, maka bisa saja dalam semalam itu ada undangan bagi urang siak itu mencapai tiga rumah.
    Menurut Sekretaris Majelis Ulama Indonesia (MUI) Kecamatan Ulakan Tapakis, Ali Nurdin M. Nur, tradisi malamang memang tidak bisa dilepaskan dari cikal bakal masuknya Islam ke Padang Pariaman ini. Dan itu merupakan kekuatan sebuah nagari yang harus dilestarikan dari kepunahan. "Disamping hal itu sebuah sejarah yang tinggi, juga punya makna yang sangat mendalam, yang telah ditorehkan oleh Syekh Burhanuddin dulunya, yang hingga kini dilanjutkan oleh ulama-ulama sebagai kader penerus perjuangan Syekh Burhanuddin," katanya kemarin di Ulakan.
    "Disamping sebagai tradisi jelang Ramadhan yang dilakukan masyarakat secara turun-temurun, kebiasaan yang dilakukan pada bulan Sya'ban ini juga erat hubungannya dengan upaya menyampaikan terima kasih masyarakat terhadap pendahulu-pendahulunya, yang telah menacapkan berbagai pondasi bangunan masyarakat. Karna jasa yang tua-tua dululah kita bisa seperti ini. Nah, untuk mengenang itu semua, maka generasi yang telah dia tinggalkan, sangat sewajarnya mendoakan yang bersangkutan, sekaligus melakukan jamuan," ungkap Ali Nurdin. (dam)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar